Foto udara tampak depan Lapas Kelas IIA Yogyakarta dan Jalan Tamansiswa. | HT
Selayang Pandang Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Yogyakarta
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Yogyakarta adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) jajaran Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Lapas yang dikenal dengan sebutan Lapas Wirogunan tersebut, didirikan sekitar tahun 1917 dan berlokasi di Jalan Tamansiswa Nomor 6 Yogyakarta (dulu jalan ini bernama Gevangenis Laan Wirogunan atau Jalan Penjara Wirogunan), dengan luas area lebih kurang 3,8 hektar. Lapas Wirogunan memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi, yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI No. PM.89/PW.007/MKP/2011.
Sejumlah nama yang pernah memimpin Lapas Kelas IIA Yogyakarta diantaranya Djoko Hikmahadi, Bc.I.P., S.H. (12 Februari 2005 - 12 September 2007), Jauhar Fardin, Bc.I.P., S.H., M.H. (10 Oktober 2007 - 18 Mei 2009), Santoso Heru Iriyanto, Bc.I.P., S.H., M.H. (18 Mei 2009 - 25 Oktober 2011), Riyanto, Bc.I.P., S.H. (25 Oktober 2011 - 22 Februari 2013), Drs. Rudi Charles Gill, Bc.I.P., S.H. (22 Februari 2013 - 02 Januari 2014), Zaenal Arifin, Bc.I.P., S.Sos. (02 Januari 2014 - 01 Juni 2016), Suherman, Bc.I.P., S.H., M.H. (01 Juni 2016 - 10 Oktober 2017), Satriyo Waluyo, Bc.I.P., S.H., M.H. (17 Oktober 2017 - 29 Desember 2020), Arimin, Bc.I.P., S.Pd. (29 Desember 2020 - 14 Desember 2021), Soleh Joko Sutopo, A.Md.I.P., S.H., M.H. (14 Desember 2021 - 10 Desember 2024), Marjiyanto, A.Md.I.P, S.Sos. ( Desember 2024 - Sekarang).
Pada awal 2022, Lapas Wirogunan mengalami revitalisasi signifikan. Revitalisasi ini mencakup pembaharuan fasad bangunan heritage yang mencerminkan kondisi awal bangunan dari era kolonial Belanda. Perubahan tersebut termasuk transformasi ruang kosong berpagar di bagian depan menjadi ruang publik yang lebih ramah dan terbuka bagi masyarakat umum. Upaya ini terbukti efektif dalam meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kegiatan pemasyarakatan. Berikut adalah beberapa upaya revitalisasi dan fasilitas unggulan yang ada di Lapas Kelas IIA Yogyakarta:
Wahana Edukasi Pemasyarakatan
Pada bagian depan Lapas tersebut pula dihadirkan sebuah Wahana Edukasi Pemasyarakatan. Tujuan dibangunnya wahana adalah untuk menarik minat masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pembinaan narapidana yang kini disebut Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP).
Wahana Edukasi yang telah diresmikan oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X, pada 15 Agustus 2022 tersebut menjelaskan kepada masyarakat tentang Sistem Pemasyarakatan, bahwa pembinaan di Lapas Yogyakarta terbuka bagi masyarakat, sebagai perwujudan 3 (tiga) pilar utama di dalam Sistem Pemasyarakatan. Tiga pilar tersebut yaitu; (1) masyarakat yang proaktif dan peduli, (2) Petugas Pemasyarakatan yang berintegritas, dan (3) warga binaan yang aktif dalam proses pembinaan.
Relief
Dalam wahana edukasi tersebut juga terdapat relief perjalanan pemasyarakatan. Di dalamnya menampilkan pahatan tentang kepenjaraan di masa lalu, menggambarkan kehidupan yang begitu kejam. Terdapat begitu banyak perlakuan yang tidak manusiawi. Mulai dari kerja paksa, hukuman gantung yang disaksikan langsung masyarakat, serta tindakan lain yang tidak memperlakukan manusia sebagaimana mestinya.
Dalam relief yang berdekatan dengan Pojok Memorabilia itu, digambarkan pula bahwa kini, Sistem Kepenjaraan telah berubah menjadi Sistem Pemasyarakatan, dimana Hak Asasi Manusia (HAM) dimuliakan. Para narapidana atau sekarang disebut Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), mendapat berbagai perlakuan lebih layak dan humanis.
Pintu Utama Lama
Saat berada di bagian tengah halaman depan Lapas, terdapat pintu gerbang besar, dahulu pintu ini berdungsi sebagai pintu utama. Kini setelah direvitalisasi, pada bagian atas terdapat tulisan Berbahasa Belanda 'Gevangenis En Huis Van Bewaring' yang artinya Penjara dan Rumah Tahanan. Ini adalah nama pertama pada saat pendirian Lapas Wirogunan Yogyakarta. Seperti yang kita ketahui, sejarah kepenjaraan pada masa kolonial dimulai sejak tahun 1872 dengan diberlakukannya 'Wetboek van Strafrecht voor de Inlanders in Nederlandsch Indie' atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana untuk orang-orang pribumi di Hindia Belanda. Lapas Wirogunan termasuk penjara yang dibangun pada masa awal, yaitu tahun 1917.
Ruang Memorabilia
Setelah pintu tersebut, pada sisi sebelah kiri, terdapat ruang kosong yang kini telah dibangun Ruang Memorabilia. Tempat ini merupakan ruang diskusi sekaligus tempat untuk mengingat kembali jati diri sebagai bangsa yang telah melewati berbagai peristiwa besar sejarah, berkaitan dengan kepenjaraan.
Pada ruangan tersebut terdapat foto Ir. Soekarno, salah satu founding father Republik Indonesia. Bukan tanpa alasan Lapas Wirogunan memajang foto tersebut, dikisahkan pada pengujung 1929, tepatnya 29 Desember saat Soekarno dan koleganya mengadakan serangkaian rapat umum di Solo dan Yogyakarta, pemerintah kolonial Belanda menggelar operasi besar-besaran dengan menangkapi para aktivis yang dituduh hendak melakukan makar.
Soekarno dan kawan-kawannya ditangkap di rumah Mr. Sujudi di Yogyakarta (Djokja). Inggit Garnasih, sang istri, ada di sisinya. Pada waktu subuh, sekira pukul 5 tentara-tentara Belanda menggedor-gedor pintu rumah Sujudi lalu menyeret para tokoh yang menginap di situ menuju penjara di Kecamatan Mergangsan atau Penjara Wirogunan.
Meski hanya semalam menginap, sebelum dibawa ke Bandung, namun inilah momen pertama kali Soekarno merasakan dinginnya lantai penjara. Keesokan harinya, 30 Desember 1929, menggunakan kereta api dari Stasiun Tugu, Soekarno dan kawan-kawannya menuju Penjara Banceuy. Setelah 8 bulan ditahan disana, perkara Sukarno dan kawan-kawannya dibawa ke pangadilan pada tanggal 18 Agustus 1930. Di dalam persidangan Sukarno membacakan pembelaan bertajuk 'Indonesia Klaagt Aan' atau Indonesia Menggugat.
Selain foto Soekarno, terdapat pula foto Dr. Sahardjo, S.H. Ia adalah seorang ahli hukum yang banyak berjasa dan menuangkan ide pemikiran dalam konsep dasar hukum.
Salah satu diantara gagasan Sahardjo adalah istilah Pemasyarakatan sebagai pengganti Kepenjaraan, untuk pertama kali disampaikan olehnya pada tanggal 5 Juli 1963 dalam pidato penganugerahan gelar Doctor Honoris Causa oleh Universitas Indonesia.
Pemasyarakatan oleh Sahardjo dinyatakan sebagai tujuan dari pidana penjara. Satu tahun kemudian pada tanggal 27 April 1964 dalam Konferensi Jawatan Kepenjaraan yang dilaksanakan di Lembang Bandung, istilah Pemasyarakatan dibakukan sebagai pengganti kepenjaraan.
Dalam perkembangan selanjutnya, pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan semakin mantap dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor: 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor: 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Selain foto kedua tokoh tersebut terdapat pula dokumentasi foto Lapas Yogyakarta sekira tahun 1960. Dimana pada salah satu fotonya terdapat blok khusus untuk tahanan politik dari Partai Komunis Indonesia.
Pada salah satu sudut ruangan tersebut juga terpajang berbagai penghargaan yang telah dicapai Lapas Yogyakarta, diantaranya sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Terbaik dalam Lomba Inovasi Layanan Publik Tingkat Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, UPT Terbaik II dalam Pengelolaan Media Sosial Teraktif, Peringkat Ketiga Kategori Lomba Film Pendek 'Integritas' ditandatangani oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Yasonna H Laoly.
Assessment Center Narapidana
Gebrakan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Republik Indonesia mengeluarkan terbosan dalam optimalisasi penyelenggaraan pembinaan berupa Sistem Penilaian Pembinaan Narapidana (SPPN) disambut antusias Lapas Yogyakarta.
Menjawab sistem penilaian tersebut, Lapas Wirogunan berinovasi menciptakan Rumah Assessment Center Narapidana yang didukung aplikasi berbasis web beralamatkan di https://sppn.kumhamjogja.id
Rumah Assessment sendiri terdapat di halaman dalam Lapas. Pada Gedung yang diresmikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna H. laoly, ini terdapat sarana dan prasarana yang memadai untuk melaksanakan penilaian terhadap narapidana berdasarkan pedoman penilaian sesuai SPPN.
Berbagai macam assessment dapat dilaksanakan dengan inovasi ini, diantaranya Integrasi, Mental, RRI, hingga Kriminogenik.
Pembinaan WBP
Selanjutnya Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) selama menjalani masa pidana di Lapas Yogyakarta memperoleh pembinaan, baik kemandirian maupun kepribadian. Melalui pembinaan yang dilakukan dalam proses Pemasyarakatan ini, WBP diarahkan untuk menjadi manusia yang lebih baik dan memiliki masa depan. Dari berbagai pembinaan yang diberikan, diharapkan dapat menjadi bekal WBP selepas menjalani masa pidana penjaranya, dengan tidak mengulangi tindak pidana lagi, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat.
Lapas Kelas IIA Yogyakarta tampak dalam.| HT
Bakpia Mbah Wiro 378
Salah satu program unggulan pembinaan kemandirian WBP adalah pembuatan makanan khas Jogja: Bakpia.
Sesuai dengan taglinenya 'Enak, Gurih, Nagih' bakpia ini laris terjual melalui cara 'getok tular' diiklankan dari mulut ke mulut. Bahkan untuk saat ini produksi bakpia telah mencapai 50 kotak per hari dengan isi 20 buah per kotaknya. Pesanan tersebut bahkan bisa lebih banyak jika ada momen hari besar seperti Idulfitri dan sebagainya. Saat ini, Bakpia Mbah Wiro 378 telah memiliki Nomor PIRT dan tengah mengurus paten merek dagang.
Dari program pembinaan tersebut para WBP yang terlibat memperoleh keterampilan baru dan premi. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak WBP, setiap WBP yang mengikuti program pembinaan kemandirian, berhak mendapatkan premi. Premi atau upah ini diberikan dalam bentuk voucher atau uang digital untuk mendukung program Lapas Bebas dari Peredaran Uang Tunai.
Jathilan Turangga Mudha Wiraguna
Kelompok Jathilan 'Turangga Mudha Wiraguna' terdiri dari para WBP Lapas Yogyakarta, kerap menampilkan tarian selamat datang lengkap dengan kuda kepangnya. Kelompok Jathilan ini pernah tampil di hadapan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Dalam pembinaan bakat seni ini, keberadaan kelompok Jathilan merupakan wujud komitmen Lapas Wirogunan menjadikan proses pembinaan yang lebih humanis. Seni jathilan sendiri selain untuk menguri - uri (merawat) kebudayan Jawa, dapat pula melatih ketangkasan dan konsentrasi para WBP, sehingga pada awal 2022 Lapas Yogyakarta mulai memberikan pembinaan kesenian Jathilan tersebut. Dalam berkesenian, WBP diiringi oleh Sanggar Seni Gamelan / Kelompok Karawitan yang juga beranggotakan WBP. Hal ini juga termasuk terobosan dalam pembinaan.
Selain mendapat pembinaan keterampilan agar menjadi manusia mandiri, WBP juga mendapat pembinaan agama untuk meningkatkan ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, hal ini diwujudkan Lapas Yogyakarta dengan menghadirkan Madrasah Alquran Al-Fajar.
Madrasah Alquran Al-Fajar
Madrasah ini merupakan konsep pembinaan melalui pendekatan keagamaan dan mental-spiritual di lingkungan Lapas Yogyakarta bagi WBP yang beragama Islam. Secara struktural, kegiatan madrasah menjadi bagian dari layanan pendidikan di bawah kewenangan Seksi Pembinaan Narapidana dan Anak Didik (Binadik). Kegiatan pembelajaran Madrasah Al Qur’an dimulai pada tanggal 21 Maret 2018. Hingga Juli 2024, Madrasah Alquran Al-Fajar telah melaksanakan wisuda ke-10 dan lebih dari 350 orang WBP telah diwisuda.
Perlu diketahui bahwa Madrasah Alquran ini telah memiliki Silabus/ Kurikulum dalam memberikan pengajaran. Sehingga segala sesuatunya terencana dan terukur. Pada Bulan Februari 2022, pihak Lapas Yogyakarta juga mengeluarkan Buku Tuntunan Ibadah WBP Lapas Yogyakarta yang mana peluncurannya diresmikan oleh Wamenkumham.
Dengan berbagai inovasi dan program unggulan tersebut, Lapas Kelas IIA Yogyakarta terus berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pembinaan dan memberikan kontribusi positif terhadap masyarakat serta pengembangan WBP. [HT]